Jam menunjukkan pukul 12.27 siang. Hari ini ada janji makan siang bersama dengan Douglas A Kammen jam 12.30. Dia adalah supervisor yang membimbingku untuk ISM module di NUS. Aku ketuk pintu ruang kerjanya. Tidak ada jawaban. Kuulangi perbuatan yang sama hingga 3 kali namun tetap tidak ada jawaban.. Ah, mungkin dia sedang keluar, pikirku. Tiba-tiba muncul Irving Johson, jebolan Harvard University yang mengajar di NUS juga. Melihatku masih berdiri dan mengetuk pintu Douglas, dengan sekejab dia berkata bahwa Douglas belum datang karena hampir setengah hari itu dia tak melihatnya. Untuk mengisi waktu menunggu Douglas, aku mencoba menemui Nathasa Hamilton, salah seorang staf pengajar di NUS pula. Untuk program ex-change studentku disini, semua dibawah supervisinya. Orangnya ramah, very nice dan terkesan tegas serta tangguh. Ini kesan pertamaku bertemu dengannya bulan Agustus lalu. Tujuanku untuk berpamitan padanya sebelum aku kembali ke Indonesia karena dia banyak membantu selama masa-masaku tinggal di Singapore. Yang tak terlupakan, dia menulis surat untuk pihak manajemen hostelku yang lama di Evans Lodge Bukit Timah supaya mempertimbangkan untuk mengembalikan depositku yang sudah terlanjur kubayar. Dan, ternyata surat tsb cukup sakti karena mereka akhirnya mau mengembalikan depositku hingga bisa menutupi biaya kontrak kamar di PGPR, tempat dimana aku tinggal di Singapore hingga nanti sampai tanggal 7 Desember 2008.
Banyak yang kami bicarakan kemudian, soal kuliah, kemungkinan sekolah S3 di NUS, kritik terhadap program ex-change, hingga obsesiku untuk mendirikan perpustakaan anak di kampungku di Kalasan. Dia pun mulai bercerita sekelumit tentang pengalamannya mencari komik di Indonesia. Dan pembicaraan pun menjadi semakin menarik ketika kita berbincang tentang keberadaan komik untuk usia anak-anak. Mulai dari tradisi komik di Indonesia hingga substasi dari komik untuk anak di Indonesia. Dia cukup terkejut ketika sedang mencari komik untuk anaknya di Jakarta, dia menemukan hampir semua komik untuk anak yang diproduksi oleh penerbit-penerbit di Indonesia mengadaptasi cerita dari “Barat” alias hanya men-translate cerita komik Barat ke dalam bahasan Indonesia, seperti cerita putri salju misalnya. Nyaris tidak ada atau memang mungkin tidak ada komik yang merupakan hasil karya penulis Indonesia untuk anak-anak. Dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, belum ditemukan komikus untuk cerita anak di Indonesia berbasiskan cerita rakyat yang sesungguhnya sangat berlimpah. Ironis.
Ayo komikus-komikus muda Indonesia, berkaryalah!
Singapore, 02 Desember 2008, 02.23 am